Nggak Sholat Ied? Nggak Afdol?
Oleh: Masturi Istamar Suhadi, Lc.,M.Phil *
Ada momen yang ditunggu selain adzan Maghrib, saat menjelang akhir Ramadhan? Apa itu? Hasil Sidang Isbat. Ya, tidak dapat dipungkiri, keputusan itu ditunggu jutaan umat Islam di Indonesia. Malam nya takbiran atau masih sholat tarawih?
Hasil sidang Isbat Kementerian Agama sudah turun. 1 Syawal ditetapkan bertetapan dengan Ahad, 24 Mei 2020. Kali ini ada rasa yang beda? Lho, kenapa beda? Ini yang menarik. Kita harus ingat, saat ini masih masa pendemi Covid19. Belum lagi, sudah sepekan ini, bersliweran di media, termasuk media sosial. Bagaimana menjalankan sholat Ied? Nggak lengkap nih, kalau puasa Ramadhan terus nggak Slolat Ied. Nggak afdol deh. Dan masih banyak lagi.
Saya pun mendapat banyak pertanyaan melalui WA, maupun telepon. Beberapa diantaranya seperti ini:
“Ustadz, jadi Imam dan Khotib Sholat Ied di daerah mana? Saya mau ikut sekalian silaturahim”
“Pak Dosen, saya diajak tetangga sholat Ied di gang kluster rumah kami. Lumayan ada 10 rumah. Kalau dihitung, ada 40 orang. Mohon petunjuk, apa boleh? Kalau boleh, apa tata caranya sama?”
“Pak Kyai, itu di WAGroup saya, kok katanya bisa sholat Ied di rumah masing-masing. Lha, saya gimana? Di rumah kan cuma ada suami, saya, anak perempuan dan Ibu saya. Saya bingung. Bagaimana caranya Sholat Ied di rumah?”
Sahabat, sobat muslim, muslimin/muslimat yang berbahagia. Perkenankan saya menjawab dengan syariat yang saya pahami dan sering saya utarakan pada kesempatan yang lalu. Jawaban ini saya broadcast setiap ada pertanyaan langsung wapri maupun lewat WAGroup.
“Mohon maaf Bapak/Ibu, di rumah saya tidak ada sholat Ied. Kami in sya Allah mengadakan sholat dhuha, setelah usai saya memberi kultum untuk keluarga saya. Dilanjutkan makan ketupat plus sayur lodeh menu favorit keluarga”.
Sahabat, afdol itu rasa. Lagi-lagi soal perasaan. Syariat lebih utama. Kondisi saat ini, kita harus tetap menjaga jarak. social distancing. Menjaga diri jauh lebih baik. Menjaga diri dan keluarga, berarti menjaga Indonesia.
Dan ini pesan saya, mari jangan dibikin ribet sesuatu yang sederhana.
Wallaahu a’lam.
Perkenankan dalam kesempatan ini, saya mengucapkan:
Taqabbalallaahu minna wa minkum.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1441H
Langit biru menentramkan batin,
Menambah rasa rindu di hati,
Mohon dimaafkan lahir batin,
Jauh di mata, tetap dekat di hati.
*) Masturi Istamar Suhadi, Lc., M.Phil. adalah Direktur Eksekutif Komite Kemanusiaan Indonesia (KKI). Salah satu lembaga yang melayani masyarakat utamanya dalam ketanggapdaruratan bencana alam. Beliau adalah alumni Pondok Modern Darussalam, Gontor, Ponorogo. Menyelesaikan studi S1 di Al Azhar University, Cairo, Mesir dan menamatkan program master dalam bidang hadits di International Islamic University, Islamabad, Pakistan. Selain itu adalah pengurus wilayah Perguruan Beladiri Indonesia Tapak Suci. Masih aktif sebagai dosen di beberapa perguruan tinggi dan juga nara sumber di masjid dan majelis taklim.
- Published in Suara KKI
Mall dan Pasar Dibuka, Perlukah Masjid Juga Dibuka Saat Ini?
Oleh : Masturi Istamar Suhadi, Lc, M.Phil *)
Beberapa hari ini, kita disuguhkan informasi yang sungguh memilukan. Apa itu? Mal dibuka pada masa pandemi belum usai. Mereka seakan berbondong-bondong. Seperti layaknya bendera start lomba lari marathon dibuka atau lampu Formula 1 atau MotoGP berwarna hijau. Mak brung !
Nah, timbul pertanyaan besar yang langsung bertubi-tubi kepada saya.
“Kenapa Masjid ditutup, tapi mal, tempat, pasar dan gedung bioskop tetap dibuka?”
“Ayo ustadz, masjid kita ini, kita buka lagi. Kita sholat berjamaah lagi. Kami rindu, ustadz”.
Perkenankan saya dengan segala kerendahan hati, menanggapi hal seperti ini. Saya berpendapat mari kita kembalikan kepada ilmu syariat. Dalam kondisi seperti ini, ilmu syariat mengajarkan untuk tidak berkumpul-kumpul dan tetap menjaga social distancing.
Kita melaksanakan social distancing bukan karena ikut-ikutan atau karena emosi apalagi perasaan. Sekali lagi, rindu itu perasaan. Kangen idem ditto.
Mari kita ingat kembali, kita melakukan itu karena ibadah dan ilmu syariah yang mengajarkan kita untuk tidak membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain.
لا ضرر ولا ضرارا.
Tidak bahaya dan tidak memberikan bahaya.
Jadi, saudaraku, sahabat-sahabat semua, apakah ketika mal dan gedung bioskop tetap dibuka kita layak ngiri? Tidak. Nggak perlu.
Mari kita merenung dan berpikir sejenak.
Ketika mal itu dibuka. Siapa yang mendapatkan bahaya? Pengunjung.
Kalau terpapar penyakit Covid19 siapa yang rugi? Pengunjung.
Siapa yang rugi? Pengunjung.
Apakah pemilik mal dan pemilik gedung bioskop dirugikan ketika pengunjung menjadi penderita pandemi? Tidak.
Apakah ketika pengunjung itu dirawat karena menderita Covid19 pemilik mall dan pemilik gedung bioskop dirugikan? Tidak.
Apakah ketika pengunjung menderita Covid19 dan mengeluarkan biaya pengobatan sendiri merugikan pemilik Mall dan gedung bioskop? Tidak.
Apakah ketika semua pengunjung mal dan gedung bioskop meninggal, pemilik mal dan gedung bioskop ikut bertanggung jawab dan nemberikan kepeduliannya? Tidak sama sekali. Sepeser pun mereka tidak akan mengeluarkan uang. Dan tidak akan memgeluarkan uang. Yang ada pada otak mereka itu bagaimana bisa mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya sekalipun di atas penderitaan orang lain. Naudzubillah min dzalik.
Bagaimana dengan masjid?
Masjid, pengurus masjid dan jamaah masjid selalu memberikan yang terbaik. Sebisa yang mereka lakukan. Kala ada yang kesulitan ekonomi, mereka berusaha untuk saling bantu, ketika ada yang sakit, mereka berusaha saling meringankan. Ketika ada yang meninggal dunia, paling tidak mereka membacakan doa dan mengantar ke kuburan. Itulah sebabnya mereka melaksanakan kaidah :
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
Menghindari kerusakan diutamakan atas berbagai maslahah.
Menjaga nyawa adalah primer ( الضروريات ) yang didahulukan atas syiar agama ( الشعائر ). Kondisi seperti saat ini, syiar agama merupakan sekunder ( الحاجيات ).
Apakah itu bisa dibandingkan antara mal dan masjid? Jelas tidak. Beda banget.
Ditambah lagi bagi seorang muslim yang berakal dan punya pemahaman, bila tahu ada berkembangnya Covid19 dan membahayakan maka ia tidak akan menceburkan dirinya pada hal yang merusak.
Karena dia paham perintah Allah SWT:
ولا تلقوا بأيديكم الى التهلكة
Janganlah kalian menjerumuskan diri kalian pada kehancuran.
Kala kita tahu bahwa penyebaran Covid19 itu dengan jarak dekat, maka kita tidak akan melakukan itu. Karena itu membahayakan diri sendiri dan orang lain.
Sebagai penutup, kalau diperhatikan kondisi kedisinian dan kekinian, dan maraknya ajakan provokatif untuk membuka masjid dalam kondisi seperti ini, saya meragukan ajakan itu. Sekali lagi dengan segala kerendahan hati. Entah itu bersumber dari orang atau lembaga. Ajakan itu perlu ditolak. Sekali lagi tolak. Saya khawatir, ada pihak-pihak yang sengaja membenturkan semua unsur anak bangsa ini. Waspadalah.
Mari kita jaga Indonesia. Kita pahami. Kita pahamkan sekeliling kita. Karena kita adalah SDM yang unggul. Indonesia sehat. Indonesia maju.
Semoga sedikit penjelasan ini bisa menambah wawasan dan mengembalikan logika kita. Tidak gampang baper, iri, apalagi emosional.
*) Masturi Istamar Suhadi, Lc., M.Phil. adalah Dosen dan juga Direktur Eksekutif Komite Kemanusiaan Indonesia. Beliau Alumni Gontor, Universitas Al Azhar, Mesir dan International Islamic University Islamabad, Pakistan.
- Published in Suara KKI